Sabtu, 21 Januari 2012

mahasiswa versus aktivis

Nokia 2700 ku berbunyi pelan diiringi dengan getar lembutnya. Segera kurogoh handphone itu dari saku celanaku. Sebuah amplop berwarna kuning tertera dilayarnya yang panjang. Ada pesan dari “Bayu Ekonomi 2009”. Spontan kupejamkan mata sambil menghela nafas panjang.


Bosan aku.


Biarlah aku tebak apa isi dari Short Message Sistem itu. Pasti undangan rapat koordinasi panitia Kemah Fakultas. Aku yakin sekali karena sekarang hari Rabu. Sesuai dengan kesepakatan rapat awal panitia, akan dilaksanakan rapat rutin tiap coordinator seluruh seksi. Jadwalnya setiap Rabu dan Sabtu sampai menjelang kegiatan berlangsung. Namun belakangan aku menyesal mengapa tidak kutawarkan seminggu sekali saja jadwal rapat koordinasinya.


Kurasa tidak ada gunanya aku hadir rapat malam ini. Sejak seminggu yang lalu hingga pagi hari tadi belum juga kucium tanda-tanda proposal ijin kegiatan turun dari kantor rektorat. Bukan karena putus asa, tapi aku lebih memilih untuk berkonsentrasi pada tugas makalah yang besok harus dikumpulkan. Juga mempersiapkan diri untuk presentasi kelompok mata kuliah Profesi Kependidikan lusa siang.


Kusimpan ponsel berwarna hitam itu ke dalam sebuah dompet. Setelah meletakkannya di bagian dalam tas ransel dan sedikit menata kembali beberapa map dan buku, bergegas kulangkahkan kaki menuju tempat kost Erma teman sekelasku. Masih ada waktu empat puluh lima menit untuk turut bergabung belajar kelompok.


***
 “Erma, aku nitip absen yah buat kuliahnya Bu Tyas nanti siang. Acara pelatihan kita belum dapat pasokan dana nih… aku mau nemenin ketua panitia cari sponsor” pintaku pada perempuan tinggi berkerudung itu.
Pagi ini ada jadwal kuliah Statistik. Aku sengaja untuk datang lebih awal. Selain tidak ingin terlambat sebab sang dosen yang selalu datang tepat waktu, juga semata agar tidak tertinggal materi kuliah. Aku selalu was-was soal nilai akhir mata kuliah ini. Kemampuan logikaku yang minim saat sekolah menengah dulu rupanya sujses membawaku menjadi bodoh untuk pelajaran hitungan. Baik itu untuk matematika, fisika, kimia, dan sejenisnya. Tak mau terulang saat di perguruan tinggi, aku bertekad untuk serius belajar. Namun, sejak aktif mengikuti berbagai kegiatan organisasi, aku jadi lupa bagaimana caranya belajar dengan baik.


“Aduh, bukannya aku nggak mau bantu Sar, masalahnya Bu Tyas sekarang nge-cek absen sendiri” ujar Erma.


“Maksudnya?”.


“Ya kita dipanggil satu persatu” Erma menjelaskan.
Astaga… ternyata salah tindakanku selama ini yang menyepelekan dosen. Kuakui selama ini aku menganggap gampang untuk setiap mata kuliah yang diampu oleh Bu Tyas. Aktif atau tidak dikelas, aku selalu mendapat nilai akhir A. Namun sepertinya aku melupakan suatu hal. Salah satu alasan mengapa semester lalu aku mendapat nilai A pastilah karena presensi kehadiranku yang hampir mencapai seratus persen. Sedangkan syarat kelulusan minimal 75% dari enam belas kali pertemuan di tiap semesternya.
Kucoba mengingat-ingat lagi sudah berapa kali semester ini aku tidak hadir di jam kuliah dosen setengah baya itu. Kupikir jika siang ini aku tidak masuk lagi, itu artinya nilai C akan segera kudapatkan. Angka absenku telah mencapai tujuh kali pertemuan.


“Selamat pagi anak-anak, kelompok berapa hari ini yang akan presentasi?, ”suara Pak Nawi, dosen Statistikku seketika membuyarkan halusinasiku. Setelah menutup pintu kelas, dosen muda tersebut berjalan menuju meja kecil yang telah disediakan untuk memasang perangkat LCD.


“Sudah connect dengan laptop?” beliau bertanya memastikan. 

Ruang kelas berukuran 6 x 6 meter ini serasa memantulkan suara Pak Nawi di tengah keheningan suasana kelas. Teman-teman sekelas memang selalu menghemat suaranya jika mata kuliah Statistik sedang berlangsung. Mungkin sindrom takut matematika masih mendera mereka meskipun telah menduduki bangku perkuliahan. Mereka lebih aktif saat forum diskusi berlangsung. Untung saja Pak Nawi bukan termasuk dosen yang semena-mena terhadap mahasiswanya.


“Sari, kalau ada informasi terbaru soal pengadaan dana, aku di SMS yah, biar teman panitia yang lain juga tahu perkembangannya. Aku nanti juga mau ngurusin banner ke percetakan” kata Erma seraya mengambil diktat Dasar-dasar Statistika dari dalam tas jinjingnya.


“Okelah, nanti aku kabari” sahutku.


“Berarti nanti siang jadi bolos kuliah Bu Tyas lagi?” tanya Erma kemudian.


“Sudah kepalang tanggung nilaiku pasti C. Tak lulus ujian pun tak apa, tahun depan bisa ngulang lagi” jawabku putus asa. Aku tidak punya pilihan lain. Tidak bisa aku terus bertekad menggenggam seluruh dunia, harus ada yang dikorbankan salah satunya.


“Sari... mana sih teman panitia yang lain?” tanya Erma sambil menghela nafas. Sejenak kutatap matanya. Pandangannya nanar kepadaku, mungkin ia merasa kasihan.


“Kau kan juga butuh istirahat” lanjutnya dengan nada prihatin.


Wes ta lah Erma, kamu tahu sendiri kan kondisi organisasi kita seperti apa sekarang. Biar aja aku korbankan satu mata kuliah, yang penting langkah pergerakan organisasi kita ndak sampai berhenti. Aku juga masih sehat kok…” ujarku berusaha meyakinkan perempuan manis itu. Erma masih saja menatapku.


“Sstt… Pak Nawi udah mulai ngomong” kataku mengalihkan perhatian.


“All is well…, okay?!” ujarku kemudian sambil tersenyum dan terus menatap Erma.
Kali ini ia menghela nafasnya. Aku menyiapkan pensil dan penghapusku. Erma pun mulai membuka diktatnya.


***
Pelan-pelan kulangkahkan kaki saat memasuki ruang tamu agar tak menimbulkan suara. Setelah berada di dalam segera kututup dan kukunci kembali pintu utama itu. Suasananya gelap, lampu-lampu di ruang tamu, ruang keluarga dan dapur telah dimatikan. Tentu saja karena sekarang sudah lewat tengah malam. Lebih tepatnya pukul satu dini hari.


Sejak kemarin siang aku sudah menyibukkan diri diluar rumah. Kegiatan Kemah Fakultas tinggal hitungan hari. Tugas para panitia semakin berat. Termasuk untuk sie kesekretariatan sepertiku. Dari seluruh job description sie kesekretariatan, baru separuh yang telah terselesaikan. Sertifikat panitia dan peserta masih dalam tahap desain, sedangkan untuk ID card panitia baru saja dikirim ke percetakan sore tadi.


Meskipun belum begitu rampung untuk urusan kemah fakultas, selesai dari percetakan segera kulajukan sepeda motorku menuju basecamp panitia Pelatihan Menulis. Diadakan oleh organisasi lain yang aku ikuti. Letaknya kira-kira satu kilometer dari percetakan.


Selain HMJ, aku juga aktif di organisasi ekstra kampus. Aku meyakini manfaat yang bakal diperoleh dari menempa pengalaman di organisasi. Namun, tetap saja ada konsekuensi yang harus dihadapi. Seperti saat sekarang ketika beberapa organisasi memiliki jadwal kegiatan yang hampir bersamaan. Tentu saja pengaturan pembagian waktu harus lebih ketat. Yang jadi masalah, aku kurang pintar dalam mengatur waktuku.


Acara kemah fakultas berlangsung seminggu setelah kegiatan pelatihan menulis diadakan. Dan besok lusa acara pelatihan telah dimulai. Persiapannnya telah mencapai tujuh puluh persen. Alhamdulillah dalam seminggu terakhir ini banyak teman-teman panitia yang longgar jadwal kuliahnya. Mereka dapat sering membantu untuk persiapan acara.


Lepas dari basecamp, aku langsung meluncur ke sekretariat salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat di kotaku. Siang sebelumnya ada undangan rapat pembagian kepanitiaan untuk diklat TOT. Kusempatkan diri untuk datang meskipun jam telah menunjukkan pukul sembilan malam. Alhasil jadilah aku pulang selarut ini. Untung saja selalu kusiapkan kunci rumah cadangan, jadi tidak sampai mengganggu orang-orang rumah maupun tetangga.


Cepat-cepat kuberjalan menuju kamarku yang berada di sisi kanan rumah. Sedikit meraba-raba pula karena gelap. Dadaku langsung terasa berdesir ketika tiba-tiba sekeliling menjadi terang benderang. Kudapati Papa telah berdiri tak jauh dari pintu kamar. Wajahnya terlihat masam.


“Mau sampai kapan kamu pulang larut malam terus kayak gini?” tanya Papa. Aku paham, beliau marah meskipun tak membentakku. Aku menelan ludah. Jurus andalan berbasa-basi rasanya tak akan berguna.


“Sekali waktu bolehlah pulang malam jika urusannya mendesak. Papa juga kasih ijin untuk menginap. Tapi coba pikir apa kata tetangga kalau hampir tiap hari pulang tengah malam” beliau melanjutkan. Aku menunduk tak berani menatap Papa.


“Berapa banyak sih organisasi yang kamu ikuti? Berapa kali kau makan dalam sehari sampai badanmu sekurus itu? Pernah ndak terpikir sama kamu buat membantu usaha catering Mama? Sebagai mahasiswa ingat tidak tugas utama kamu apa?” Papa terus mengajukan pertanyaan. Pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban. Aku sendiri tak berniat untuk buka suara. Kuhela nafas pelan. Sebenarnya aku sudah letih sekali.


Papa berbicara lagi, tapi tak terlalu kuperhatikan.
Hmmm…. Mungkin Papa dulu tidak pernah jadi aktivis, pikirku kemudian. Padahal setahuku semasa kuliah dulu Kak Ardie juga aktif diberbagai organisasi. Beliaulah yang sering menjabarkan nilai-nilai positif dari berorganisasi.  Sampai akhirnya  meminta agar aku ikut organisasi.


***
Mataku sudah terbuka. Namun selimut masih menutupi sekujur tubuhku. Meskipun matahari sudah tinggi, aku masih malas untuk segera bangun.

“Kak Ardie dulu juga pernah Papa marahi gara-gara sering pulang malam” aku teringat kata-kata Papa semalam. 

“Bukan karena akhirnya berbalik tidak mendukung keaktifannya di organisasi, tapi Papa nggak mau Kak Ardie kehilangan kendali. Menyenangkan sekali memang saat menyibukkan diri dalam berbagai kegiatan, namun kewajiban utama harus tetap diutamakan. Banyak mahasiswa yang terlalu asyik dengan organisasinya, tapi kuliahnya nggak selesai-selesai. Bukankah itu yang namanya pemborosan waktu, tenaga, pikiran plus uang?” ujar Papa panjang lebar.

Sejak aktif berorganisasi alur kegiatanku memang kurang beraturan. Jam belajarku terpangkas. Semakin jarang membantu menyiapkan masakan pesanan usaha catering yang Mama kelola. Hingga jadwal makan jadi berantakan yang berujung maag menjangkiti lambungku. Mama pernah senewen karena janjiku untuk membantu masak pesanan batal kutepati. Saat itu aku menghadiri undangan rapat organisasi. Papa juga mengaku menyesal karena nilai IP-ku yang semester lalu menurun.

Kurasa semester ini pun nilaiku akan semakin merosot. Harus kuakui, bukannya jarang belajar, namun lebih tepatnya aku tidak pernah belajar selama semester ini. Begitu sesampainya dirumah, energiku untuk belajar otomatis hilang terkalahkan oleh kantuk. Keesokan harinya, saat diskusi kelas aku menjadi pasif. Lenyap sudah kesempatanku untuk mendapat poin nilai. Ditambah lagi dengan semakin seringnya aku bolos j`m kuliah.

Karena sering tidur malam, aku juga sering jadi mengantuk saat jam perkuliahan. Alih-alih berusaha agar tetap berkonsentrasi, aku lebih memilih untuk bermain game di handphone-ku. Atau ngobrol dengan teman disampingku. 

Mahasiswa macam apa yang seperti itu? gumamku sendiri dalam hati.

“Ibarat kau sedang menggenggam telur. Telapak tanganmu memang sanggup untuk menggenggam dua sampai empat bahkan lima butir telur. Tapi kau nggak akan leluasa mengaturnya. Beresiko pula kamu dapat kehilangan seluruhnya karena terjatuh. Lebih baik kamu genggam satu butir telur, merawatnya hingga jadi ayam, dan kamu bisa mendapatkan telur lebih banyak lagi”.


Perkataan Papa yang lain itu terasa menyentil telingaku. Aku terlalu sibuk menyanggupi tawaran kepanitiaan dari berbagai organisasi, namun tidak ada yang aku kerjakan dengan sungguh-sungguh. Keaktifanku hanya karena ego tinggi. Padahal kesuksesan suatu organisasi adalah kesuksesan seluruh anggota.


Astaghfirullah, serakah lagi dzalim ternyata aku ini…..
Pandangan mataku yang semula menuju langit-langit kamar beralih ke dinding sisi kiri ku. Ada Papa tertawa lebar bersama Mama disampingnya disana. Sedangkan aku dan Kak Ardie tersenyum nakal muncul dari belakang mereka.


Kapan ya dapat terulang lagi masa-masa seperti saat itu?


***
Kuselempangkan ID card-ku dan kusembunyikan di balik jaket jinsku. Kurapikan sedikit bros bunga yang tersemat di sisi kanan kerudungku agar erat dan tak mudah jatuh. Semoga tidak ada yang tertinggal. Handphone sudah kumasukkan ke dalam tas, begitu pula buku notes dan sebuah pena. Mama memberiku bekal air mineral agar dapat diminum sewaktu-waktu. Hari ini aku akan mencari sebuah berita. 

Aku tersenyum sendiri. Inilah yang aku cari.

Sudah kuputuskan, sejak beberapa hari yang lalu. Aku mtlai menyeriusi salah satu dari organisasi yang aku ikuti. Posisiku disana sebagai reporter buletin yang diterbitkan secara berkala. Namun bukan karena aku ingin menjadi wartawan. Melainkan karena ketertarikanku pada dunia tulis menulis. Suatu hal yang kuyakini tak akan sia-sia. Mengapa? Karena dunia kuliah pun sangat dekat dengan dunia ini. Dan kurasa akan semakin memompa semangatku untuk terus belajar. Menjadi pencari berita ternyata tertuntut untuk banyak tahu hal-hal disekelilingnya.


Papa dan Mama mendukungku sekali. Kak Ardie pun turut berjanji akan mengirimkan sebuah buku panduan menulis berbagai artikel bulan depan setelah tahu niatku menekuni minatku ini. 
Hahaha……

Tawaran kepanitiaan tetap saja silih berganti datang. Tapi selalu kuseleksi sebatas tak mengganggu jadwal tetapku. Jadwal untuk belajar, membantu Mama memasak dan menulis.
“Sari… Arif sudah njemput tuh…” seru Mama tiba-tiba.
 “Iya Ma… Sari sudah selesai……” balasku kemudian.  

Oh ya ada satu lagi, teman dekatku yang satu ini jadi rajin ikut mengantarku mencari berita. Dia suka bantu mengambil foto sang narasumber atau obyek berita yang lain. 

Kukoleksi, siapa tahu bisa menang lomba, katanya. 




***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar