Deni setengah
berlari menyusuri koridor sekolahnya yang panjang. Hari masih pagi,
sekolah masih sepi, hanya ada segelintir siswa saja yang terlihat
sedang piket. Semoga dikelas masih kosong, batin Deni berharap. Pak
Bakri, penjaga sekolah Deni, sudah mulai mengumpulkan dedaunan kering
yang berserakan dengan sapunya.
Deni memang sengaja
berangkat lebih pagi, semenjak ia menemukan secarik kertas dengan
sebait dua bait kalimat di laci bangkunya. Ia lantas penasaran
setelah tahu ternyata surat itu ditujukan untuknya. Apalagi
pengirimnya hanya mencantumkan pemuja rahasia sebagai inisialnya.
Begitu sampai di
depan kelas, ia tidak langsung begitu saja mendobrak pintu masuk,
melainkan berlamat lamat ia berjalan, agar suara langkahnya tidak
terdengar. Deni penasaran bukan hanya karena ingin menjebak secret
admirer-nya itu.
Namun, gurat kecewa
segera telihat di raut mukanya, ketika di dapatinya ruang kelas yang
kosong.
“Atau mungkin
kurang pagi ya aku datangnya...??” batin Deni sendiri.
Pemilik tubuh
jangkung ini lantas melangkah menuju bangkunya. Sama seperti
hari-hari sebelumnya, kali ini ia mendapati sebuah amplop biru cerah
di laci bangku. Tertulis angka 6 kecil di pojok kiri bawah bagian
depan amplop tersebut. Surat-surat itu memang selalu terunut dengan
angka sejak pertama kali Deni temukan.
Deraslah
tangisku, bulan
bagaimana
pun juga
engkau
telah beri ku bayang bayang
kau
pun indah layaknya bintang
Tertegun sejenak
Deni setelah membaca rangkaian kata yang tertulis di secarik kertas
dalam amplop itu. Beberapa detik kemudian, surat itu telah tersimpan
di dalam tas Deni.
Ruang kelas mulai
ramai.
Deni tidak heran. Jam pertama hari ini pelajaran kimia. Mereka
yang datang lebih awal mau apa lagi kalau bukan menyalin tugas yang
notabene sudah bikin otak Deni keriting semalaman.
“Santai banget sih
kamu Den? kimia-mu gimana? Atau... kamu udah kelar yah..??” tanya
Tari yang tiba tiba ada di sebelahnya.
Di liriknya Tari
yang sudah memasang tampang penuh harap. Detik berikutnya Tari sudah
sibuk menyalin semua Pe-Er Deni.
“Kamu doang!”
seru Deni tanpa dihiraukan Tari.
***
“Ah... akhirnya nih novel
dapet juga. Makasih ya Den udah mo nemenin aq beli” ujar Tari
sesaat setelah dihempaskan tubuhnya disalah satu tempat duduk.
“You're welcome” ucap
Deni.
Mereka baru saja memesan 2
paket nasi plus ayam goreng. Ternyata lapar setelah keliling
toko buku.
“Aku penasaran banget ma
dia Tar, baru kali ini aku dapet yang seperti itu, pakai nama pemuja
rahasia lagi..” kata Deni.
“Capek deh Den, narsis
banget sih kamu jadi orang. Iya kalo cewek, kalo cowok gimana?”
canda Tari.
Deni melongo mendengar
perkataan Tari barusan.
“Sebodo amat!. Yang penting kan aku ada
yang naksir !” balas Deni tak kalah cuek.
“Bilang aja kalo kamu nggak
laku !”
“Kamu jangan buka kartu
mati ku dong! Emang situ laku ?!”
“Nggak usah ngotot deh
Den...”
“Siapa dulu yang mulai...”
“Permisi mbak..” sebuah
suara tiba tiba muncul. Ayam goreng mereka datang. “Eh, makasih ya
Mbak” sahut Tari kemudian.
Setelah pramusaji itu pergi,
“Den, aku mau dong paha ayam punya kamu, nih aku ada duo sayap”
pinta Tari manja.
“Enak aja !”sahut Deni.
“Den... biasanya mau...”
“Sekarang kan nggak biasa
!”
“Ya... Deni...”.
Deni cuek sambil terus
melahap ayam gorengnya. Ia tersenyum sendiri ketika dilihatnya Tari
menyantap makanannya dengan muka cemberut. Dasar manja.
***
Mata Deni ngantuk banget.
Semalam ia telat tidur. Ditambah lagi Pak Widodo sang guru pembimbing
mata pelajaran Sejarah, mulai melancarkan aksinya untuk mendongeng.
Untuk mengusir kantuk biasanya Tari ngajak main SOS. Kan enak tuh,
tinggal tulis S trus O trus S, coret, jadi deh!. Tapi kudu jeli,
apalagi yang menang bakalan dapat hadiah. Gado gado YaHut di
kantin Mak Inah. Siip!! Lumayan, bisa ngirit uang saku. Cara mainnya
pun diam diam, lihat situasi dan kondisi kelas.
Tapi hari ini Tari absen.
Jadilah Deni menikmati sendiri rasa kantuknya. Tari pasti lagi
tidur, batin Deni sendiri. Kecapaian mungkin, kemarin habis
putar-putar kota. Semalam memang pulang agak telat, ngerjain tugas
telat, tidur pun telat.
“Jangan terlalu dipikirin
Den, sepandai pandai tupai melompat, suatu saat pasti bakalan jatuh.
Sepandai pandai dia nyembunyiin jati dirinya, pasti akan ketahuan.
Masalah waktu aja kok Den....” Deni teringat kata-kata Tari
semalam, tentang Secret Admirer barunya.
“Hmm...ntar kalo dah
ketahuan siapa dia, emang mo kamu langsung jadiin pacar? Pastinya
pikir-pikir dulu kan....?” tanya Tari waktu itu disambut oleh
kerjapan mata bingung Deni.
Bener juga, kan nggak harus
jadi pacar yah...!!
Ups..naif banget !.
***
Baru jam 10 Deni tahu kalau
Tari sakit. Itu pun setelah dia membuka ponselnya yang semalam ia
matikan. Padahal SMS Rengga, kakak Tari, dikirim jam 7 pagi. Makanya,
ia sekarang nge-gas motornya cepat sekali, apalagi baru saja
Rengga nelpon suruh cepat kerumah sakit.
Deni gelisah. Tari memang
sering sakit, tapi keluarganya tidak pernah sebegini bingung.
Ia
langsung saja membuka pintu kamar tempat Tari di rawat setelah kurang
lebih 5 menit mencari-cari ruangan yang dimaksud. Jupiter-nya ia
parkir di samping rumah sakit.
Didapatinya Tari tergolek
lemas dengan selang infus berjuntai. Di sisi kanan tempat tidur Tari,
Tante Mirna, ibu Tari tampak menggenggam jemari Tari sambil
menenggelamkan wajahnya. Beliau langsung beranjak begitu tahu Deni
datang.
“Temani Tari ya nak Den...”
ujar Tante Mirna di balas anggukan kepala oleh Deni.
***
Deni masih saja
termangu di samping tanah pekuburan yang masih basah. Taburan bunga
seolah menyelimuti gundukan tanah itu.
Ia seorang yang dewasa, batin
Deni.
Ingatan Deni menerawang jauh.
Seingat Deni, ia dan Tari sering
terlibat satu kelompok belajar. Tak ayal mereka pun akrab. Dan
ternyata Tari teman satu kelompok bermain waktu masih kanak-kanak.
Tak bisa disangkal, Deni mulai suka pada pribadi Tari.
Tapi buru-buru
dipendamnya perasaan itu. Meski ingin lebih mendekati Tari, ia lebih
menghargai keputusan Tari untuk menerima Sony. Apalagi Sony sahabat
karib Deni sendiri.
Deni nggak
menyangka Tari pergi begitu cepat. Padahal baru kemarin lusa ia
menghabiskan waktu seharian bersama Tari.
Tari suka jajan.
Jajan untuk otak, katanya.
Uang jajan Tari memang sering habis untuk
mengoleksi buku. Deni teringat mimpi Tari untuk mendirikan
perpustakaan umum. Tari ingin para pelajar atau mahasiswa yang
kesulitan mencari literatur untuk keperluan studi, bisa menemukan
jalan keluar lewat perpustakaannya kelak.
Hmm..aku saja masih
bingung setelah ini mau kuliah ambil jurusan apa, batin Deni kala
itu.
Tari sudah punya planning seperti itu.
“Den...”
sebuah suara membuyarkan lamunan Deni. Rengga sudah disampingnya.
“Umur itu memang hanya titipan yah, dan dunia ini maqam ikhtiar
saja” ujarnya kemudian.
Deni tersenyum.
Benar perkataan Rengga. Tari beruntung telah berusaha demi niat
baiknya, meski belum kesampaian.
“Den,
kemarin Tari sempat nitip ini sama aku, buat kamu” kata Rengga
sambil mengangsurkan sebuah amplop. Deni menerimanya dengan dahi
berkerut. Cepat cepat dibukanya, didapatinya ada selembar kertas
didalamnya.
Aku
pamit, bulan
sudah
saatnya
terima
kasih telah berpeluh sahabatiku
bahkan
disaat aku tak anggap kau ada
Nb :
si tupai telah terjatuh
tapi ia tak akan kembali berlompat
ia
menyerah pada hembusan asa terakhirnya
Seketika wajah Deni
pucat.
Jantungnya berdebar demi membac` goresan tangan Tari yang
ditujukan untuknya itu.
Ingatannya melayang pada amplop amplop yang
beberapa hari terakhir ini mengusiknya. Pada sajak-sajak di dalamnya.
Penulis itu seperti menceritakan keputusasaannya.
Bukan, bukan putus
asa, melainkan hanya cerita tentang hidupnya yang muram. Berlanjut
pada kembalinya ia mendapat dorongan untuk terus berjalan. Ia
katakan, ingin ia menggapai matahari yang selalu merangkulnya untuk
tidak menoleh masa lalu. Matahari adalah candu baginya..
“Kanker
otak Tari sudah ada sejak dua tahun yang lalu. Selain Mama, Papa,
dan aku, Tari tak ingin ada orang lain yang tahu. Selama ini kami
telah berusaha, semampu kami, demi Tari. Hasilnya bila yang terbaik
bagi Tari adalah seperti ini, Insya Allah semoga kami ikhlas. Aku
bahagia melihat senyum Tari tadi pagi. Mungkin ia telah memeluk
mataharinya. Kata dia, sepanjang hari mataharilah sobatnya. Pada
waktu malam datang, bulan lah yang menemani dia.” urai Rengga
panjang lebar.
“Hmm...itu tulisan kecil di diary Tari. Entah apa
artinya. Mungkin matahari analogi dari hal yang telah memberinya
semangat. Semangat untuk tetap berjalan meski ibarat kata ia telah
lumpuh. Dan sang bulan....”
Sang bulan adalah
sosok, terka Deni sendiri di dalam hatinya.
Deni ingat kata-kata itu,
ia pun masih ingat kelanjutan dari rangkaiannya.
Bulanlah yang terus
meyakinkan penulis sajak-sajak itu untuk terus berdiri.
Meski keadaan
gelap hingga matahari muncul kembali.
Penulis itu pun mengatakan
siapa sang bulan tersebut.
Bukan, bukan Sony. Sony telah lama
berlalu.
“Kata Tari, bulan sangat menghargainya. Sahabatnya dalam
segala hal....”.
Kalimat Rengga
terakhir begitu membuka penyesalan dihati Deni.
Bayangan Tari tiba-tiba
muncul, namun sekian detik kemudian samar.
Pandangan Deni mulai
kabur,
lalu gelap,
gelap sekali...
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar