Minggu, 22 Januari 2012

surat, sajak & bulan

Deni setengah berlari menyusuri koridor sekolahnya yang panjang. Hari masih pagi, sekolah masih sepi, hanya ada segelintir siswa saja yang terlihat sedang piket. Semoga dikelas masih kosong, batin Deni berharap. Pak Bakri, penjaga sekolah Deni, sudah mulai mengumpulkan dedaunan kering yang berserakan dengan sapunya. 

Deni memang sengaja berangkat lebih pagi, semenjak ia menemukan secarik kertas dengan sebait dua bait kalimat di laci bangkunya. Ia lantas penasaran setelah tahu ternyata surat itu ditujukan untuknya. Apalagi pengirimnya hanya mencantumkan pemuja rahasia sebagai inisialnya. 


Begitu sampai di depan kelas, ia tidak langsung begitu saja mendobrak pintu masuk, melainkan berlamat lamat ia berjalan, agar suara langkahnya tidak terdengar. Deni penasaran bukan hanya karena ingin menjebak secret admirer-nya itu.
Namun, gurat kecewa segera telihat di raut mukanya, ketika di dapatinya ruang kelas yang kosong. 

“Atau mungkin kurang pagi ya aku datangnya...??” batin Deni sendiri.
Pemilik tubuh jangkung ini lantas melangkah menuju bangkunya. Sama seperti hari-hari sebelumnya, kali ini ia mendapati sebuah amplop biru cerah di laci bangku. Tertulis angka 6 kecil di pojok kiri bawah bagian depan amplop tersebut. Surat-surat itu memang selalu terunut dengan angka sejak pertama kali Deni temukan.


Deraslah tangisku, bulan
bagaimana pun juga
engkau telah beri ku bayang bayang
kau pun indah layaknya bintang


Tertegun sejenak Deni setelah membaca rangkaian kata yang tertulis di secarik kertas dalam amplop itu. Beberapa detik kemudian, surat itu telah tersimpan di dalam tas Deni.

Ruang kelas mulai ramai. 
Deni tidak heran. Jam pertama hari ini pelajaran kimia. Mereka yang datang lebih awal mau apa lagi kalau bukan menyalin tugas yang notabene sudah bikin otak Deni keriting semalaman. 

“Santai banget sih kamu Den? kimia-mu gimana? Atau... kamu udah kelar yah..??” tanya Tari yang tiba tiba ada di sebelahnya. 

Di liriknya Tari yang sudah memasang tampang penuh harap. Detik berikutnya Tari sudah sibuk menyalin semua Pe-Er Deni.
“Kamu doang!” seru Deni tanpa dihiraukan Tari.


***

“Ah... akhirnya nih novel dapet juga. Makasih ya Den udah mo nemenin aq beli” ujar Tari sesaat setelah dihempaskan tubuhnya disalah satu tempat duduk. 

“You're welcome” ucap Deni. 

Mereka baru saja memesan 2 paket nasi plus ayam goreng. Ternyata lapar setelah keliling toko buku. 

“Aku penasaran banget ma dia Tar, baru kali ini aku dapet yang seperti itu, pakai nama pemuja rahasia lagi..” kata Deni.

“Capek deh Den, narsis banget sih kamu jadi orang. Iya kalo cewek, kalo cowok gimana?” canda Tari.
Deni melongo mendengar perkataan Tari barusan.

“Sebodo amat!. Yang penting kan aku ada yang naksir !” balas Deni tak kalah cuek.

“Bilang aja kalo kamu nggak laku !”

“Kamu jangan buka kartu mati ku dong! Emang situ laku ?!”

“Nggak usah ngotot deh Den...”

“Siapa dulu yang mulai...”

“Permisi mbak..” sebuah suara tiba tiba muncul. Ayam goreng mereka datang. “Eh, makasih ya Mbak” sahut Tari kemudian. 

Setelah pramusaji itu pergi, “Den, aku mau dong paha ayam punya kamu, nih aku ada duo sayap” pinta Tari manja. 

“Enak aja !”sahut Deni. 

“Den... biasanya mau...”

“Sekarang kan nggak biasa !”

“Ya... Deni...”. 

Deni cuek sambil terus melahap ayam gorengnya. Ia tersenyum sendiri ketika dilihatnya Tari menyantap makanannya dengan muka cemberut. Dasar manja.


***



Mata Deni ngantuk banget. Semalam ia telat tidur. Ditambah lagi Pak Widodo sang guru pembimbing mata pelajaran Sejarah, mulai melancarkan aksinya untuk mendongeng. 

Untuk mengusir kantuk biasanya Tari ngajak main SOS. Kan enak tuh, tinggal tulis S trus O trus S, coret, jadi deh!. Tapi kudu jeli, apalagi yang menang bakalan dapat hadiah. Gado gado YaHut di kantin Mak Inah. Siip!! Lumayan, bisa ngirit uang saku. Cara mainnya pun diam diam, lihat situasi dan kondisi kelas.

Tapi hari ini Tari absen. Jadilah Deni menikmati sendiri rasa kantuknya. Tari pasti lagi tidur, batin Deni sendiri. Kecapaian mungkin, kemarin habis putar-putar kota. Semalam memang pulang agak telat, ngerjain tugas telat, tidur pun telat. 

“Jangan terlalu dipikirin Den, sepandai pandai tupai melompat, suatu saat pasti bakalan jatuh. Sepandai pandai dia nyembunyiin jati dirinya, pasti akan ketahuan. Masalah waktu aja kok Den....” Deni teringat kata-kata Tari semalam, tentang Secret Admirer barunya. 

“Hmm...ntar kalo dah ketahuan siapa dia, emang mo kamu langsung jadiin pacar? Pastinya pikir-pikir dulu kan....?” tanya Tari waktu itu disambut oleh kerjapan mata bingung Deni. 

Bener juga, kan nggak harus jadi pacar yah...!!
Ups..naif banget !.



***



Baru jam 10 Deni tahu kalau Tari sakit. Itu pun setelah dia membuka ponselnya yang semalam ia matikan. Padahal SMS Rengga, kakak Tari, dikirim jam 7 pagi. Makanya, ia sekarang nge-gas motornya cepat sekali, apalagi baru saja Rengga nelpon suruh cepat kerumah sakit. 

Deni gelisah. Tari memang sering sakit, tapi keluarganya tidak pernah sebegini bingung.

Ia langsung saja membuka pintu kamar tempat Tari di rawat setelah kurang lebih 5 menit mencari-cari ruangan yang dimaksud. Jupiter-nya ia parkir di samping rumah sakit. 

Didapatinya Tari tergolek lemas dengan selang infus berjuntai. Di sisi kanan tempat tidur Tari, Tante Mirna, ibu Tari tampak menggenggam jemari Tari sambil menenggelamkan wajahnya. Beliau langsung beranjak begitu tahu Deni datang. 

“Temani Tari ya nak Den...” ujar Tante Mirna di balas anggukan kepala oleh Deni.


***

Deni masih saja termangu di samping tanah pekuburan yang masih basah. Taburan bunga seolah menyelimuti gundukan tanah itu. 

Ia seorang yang dewasa, batin Deni. 

Ingatan Deni menerawang jauh. 
Seingat Deni, ia dan Tari sering terlibat satu kelompok belajar. Tak ayal mereka pun akrab. Dan ternyata Tari teman satu kelompok bermain waktu masih kanak-kanak. 

Tak bisa disangkal, Deni mulai suka pada pribadi Tari. 
Tapi buru-buru dipendamnya perasaan itu. Meski ingin lebih mendekati Tari, ia lebih menghargai keputusan Tari untuk menerima Sony. Apalagi Sony sahabat karib Deni sendiri.

Deni nggak menyangka Tari pergi begitu cepat. Padahal baru kemarin lusa ia menghabiskan waktu seharian bersama Tari.
Tari suka jajan. Jajan untuk otak, katanya. 
Uang jajan Tari memang sering habis untuk mengoleksi buku. Deni teringat mimpi Tari untuk mendirikan perpustakaan umum. Tari ingin para pelajar atau mahasiswa yang kesulitan mencari literatur untuk keperluan studi, bisa menemukan jalan keluar lewat perpustakaannya kelak. 
 
Hmm..aku saja masih bingung setelah ini mau kuliah ambil jurusan apa, batin Deni kala itu. 
Tari sudah punya planning seperti itu. 
 
Den...” sebuah suara membuyarkan lamunan Deni. Rengga sudah disampingnya. 

“Umur itu memang hanya titipan yah, dan dunia ini maqam ikhtiar saja” ujarnya kemudian.
Deni tersenyum. Benar perkataan Rengga. Tari beruntung telah berusaha demi niat baiknya, meski belum kesampaian.

Den, kemarin Tari sempat nitip ini sama aku, buat kamu” kata Rengga sambil mengangsurkan sebuah amplop. Deni menerimanya dengan dahi berkerut. Cepat cepat dibukanya, didapatinya ada selembar kertas didalamnya. 
 

Aku pamit, bulan
sudah saatnya
terima kasih telah berpeluh sahabatiku
bahkan disaat aku tak anggap kau ada

              Nb : si tupai telah terjatuh
                             tapi ia tak akan kembali berlompat
                                      ia menyerah pada hembusan asa terakhirnya 



Seketika wajah Deni pucat. 
Jantungnya berdebar demi membac` goresan tangan Tari yang ditujukan untuknya itu. 

Ingatannya melayang pada amplop amplop yang beberapa hari terakhir ini mengusiknya. Pada sajak-sajak di dalamnya. 
Penulis itu seperti menceritakan keputusasaannya. 
Bukan, bukan putus asa, melainkan hanya cerita tentang hidupnya yang muram. Berlanjut pada kembalinya ia mendapat dorongan untuk terus berjalan. Ia katakan, ingin ia menggapai matahari yang selalu merangkulnya untuk tidak menoleh masa lalu. Matahari adalah candu baginya..

Kanker otak Tari sudah ada sejak dua tahun yang lalu. Selain Mama, Papa, dan aku, Tari tak ingin ada orang lain yang tahu. Selama ini kami telah berusaha, semampu kami, demi Tari. Hasilnya bila yang terbaik bagi Tari adalah seperti ini, Insya Allah semoga kami ikhlas. Aku bahagia melihat senyum Tari tadi pagi. Mungkin ia telah memeluk mataharinya. Kata dia, sepanjang hari mataharilah sobatnya. Pada waktu malam datang, bulan lah yang menemani dia.” urai Rengga panjang lebar. 

“Hmm...itu tulisan kecil di diary Tari. Entah apa artinya. Mungkin matahari analogi dari hal yang telah memberinya semangat. Semangat untuk tetap berjalan meski ibarat kata ia telah lumpuh. Dan sang bulan....”
Sang bulan adalah sosok, terka Deni sendiri di dalam hatinya. 
Deni ingat kata-kata itu, ia pun masih ingat kelanjutan dari rangkaiannya. 

Bulanlah yang terus meyakinkan penulis sajak-sajak itu untuk terus berdiri. 
Meski keadaan gelap hingga matahari muncul kembali. 

Penulis itu pun mengatakan siapa sang bulan tersebut. 
Bukan, bukan Sony. Sony telah lama berlalu. 

“Kata Tari, bulan sangat menghargainya. Sahabatnya dalam segala hal....”. 
 
Kalimat Rengga terakhir begitu membuka penyesalan dihati Deni. 

Bayangan Tari tiba-tiba muncul, namun sekian detik kemudian samar. 

Pandangan Deni mulai kabur, 
lalu gelap, 
gelap sekali...

***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar